Minggu, 20 Januari 2008

Cerita dibalik Iklan Belakang Majalah FORUM Keadilan (Pemerasan Terhadap PT MAKINDO dan Gunawan Jusuf episod VII)




Berikut ini perbincangan di mailing list mediacare@yahoogoups.com seputar keculasan majalah FORUM dan ulah Priyono Bandot Sumbogo, penanggungjawab redaksi FORUM.
Mailing list ini bisa dilihat di www.mediacare.blogspot.com
(Mohon maaf karena susunan tanggal perbincangannya tidak terstruktur).


keterangan foto : inilah wajah Priyono bandot Sumbogo. Bandingkan dengan gambar diatas. Tak jauh berbeda. Ulahnya suka seruduk sana seruduk sini mencari mangsa.

Bung Nugroho.
Senang sekali mendengar anda juga ternyata pernah ditawari oleh si bencong alias Ronald itu. Tapi untunglah, anda tidak sama dengan Priyono Bandot Sumbogo. Karena kesialan justru menimpa FORUM yang dikelola Priyono cs itu.

Cerita yang anda utarakan sama persis yang terjadi di FORUM. Waktu itu, si bencong alias Ronald itu memang mulanya mencari-cari awak redaksi FORUM. Lalu ketemulah ia dengan Sukowati Utami. Perempuan ini mengklaim menjabat sebagai redaktur eksekutif FORUM. Lalu antara bencong alias Ronald dan Sukowati itupun terjadi perbincangan. Intinya Ronald menjanjikan bakal memberikan segepok uang dari "kliennya" yang merupakan lawan Makindo dan berjanji bakal memasang iklan setahun penuh di FORUM.

Eh, tanpa tedeng aling-aling, Sukowati langsung mengiyakan saja. Begitu juga dengan Priyono. Setelah diceritakan Sukowati, Priyono itu pun langsung setuju. Terlebih lagi setelah gagal mengambil uang Rp 400 juta dari Makindo. Makanya Priyono melampiaskannya kepada si bencong alias Ronald itu.

Singkat cerita, Ronald alias bencong itupun memberikan setumpuk data. Data itu diserahknnya kepada Sukowati dan Priyono. Anehnya, tanpa menelaah lebih dulu data yang ada, Priyono langsung memberikan instruksi di rapat redaksi FORUM. Titahnya langsung menyatakan bahwa kasus Makindo di tulis di rubrik FORUM Utama. Data yang ada, cuma dari si bencong alias Ronald itu saja.

Priyono pun tak pernah memerintahkan untuk melakukan wawancara dengan Gunawan Yusuf. Karena yang dia kejar hanyalah segepok uang dari si bencong alias Ronald itu saja.

Namun Priyono memang malang. Dia akhirnya kena tipu sama itu bencong. Setelah beritanya dimuat dan ditulis panjang, si bencong yang sehari-harinya selalu rajin menyambangi kantor FORUM, tidak kelihatan lagi. Dia menghilang. Priyono pun kena tipu. Yang kini dia lakukan ya cuma memampang foto Gunawan Yusuf sebagai iklan cover belakang di FORUM. Cuma itu.

Kejadian itu tentu tak akan berlangsung bila Priyono sealiran dengan Bung Nugroho. Tapi sebagai penanggungjawab redaksi, entah apa yang ada di benak Priyono sehingga dia tertarik begitu saja dengan tawaran sejumlah uang dari Ronald.

bagi kami, yang duduk sebagai jajaran redaksi, tentu sebelumnya tak begitu mengetahui kejadian tersebut. Karen Priyono tak pernah menceritakan dlam rapat kalau dia memang melakukan deal dengan si bencong alias ronald. Setelah ditipu, barulh dia menceritakannya dan meminta saran pendapat dari kami. Bayangkan, seandainya deal itu berhasil, pastilah dia tidak akan bercerita. Untunglah, otak busuk Priyono itu tak kesampaian.

salam,

Cerita dibalik Iklan Belakang Majalah FORUM Keadilan (Pemerasan Terhadap PT MAKINDO dan Gunawan Jusuf episod VI)

Tentang postingan seperti ini, bukanlah maksud kami untuk menjelek-jelekkan seseorang. Tapi kami memang bertekad untuk mengulas sebuah persoalan pers yang, mungkin, cukup besar.

Masalah ini dimulai dari pembahasan misteri iklan cover belakang majalah FORUM yang selalu memampang foto Gunawan Yusuf. Ternyata, pemasangan iklan itu memiliki maksud. Yakni, seorang penanggung jawab redaksi FORUM, Priyono Bandot Sumbogo, memiliki target untuk dapat uang dari PT Makindo, perusahaan yang dipimpin Gunawan Yusuf itu. Uang yang ditargetkannya itu juga tak sedikit. Mendapai Rp 400 juta. Tapi upayanya itu tidak kesampaian. Dia kena tipu sama bencong. Makanya, dendamnya itu disampaikan lewat iklan di FORUM. Karena cuma itu upaya terakhir yang bisa dilakukannya.



Keterangan foto : Priyono Bandot Sumbogo, tokoh central tragedi pemanfaatan majalah FORUM Keadilan sebagai ajang "pemerasan".

Hal lainnya. ternyata selama bekerja di FORUM, banyak persoalan pers yang mungkin bisa dibahas bersama. Kasus pemerasan yang gagal itu merupakan perkara pertama di dunia pers kita dengan jumlah besar. Tapi tak satupun pihak yang berani mengusutnya.

Lalu tentang proses penerbitan majalah FORUM yang sering kutip media koran dan internet tanpa menyebutkan asal beritanya, jelas merupakan tindak pidana yang serius. Tapi tak satupun yang berani mengusutnya. Padahal, bila dibutuhkan alat bukti seperti saksi misalnya, kami sangat siap.

Jadi, hal ini bukan semata-mata ketidaksukaan terhadap seseorang. terhadap Priyono Bandot Sumbogo itu. Tapi, sejujurnya, ketika bekerja bersama dia selama ini, kami merasa kecewa. Karena beliau selalu membangga-banggakan sebagai alumnus TEMPO. Jadi dalam benak kami, seolah-olah alumnus TEMPO itu memang seperti Priyono itu saja. Tidak bisa menjadi wartawan, tapi mengaku sudah sangat senior. Hobbinya juga "menyiksa" para wartawannya saja.


Salam,

Dewanto wrote:
rasanya saya tahu yang dimaksud dengan si bencong itu.

lebih setahun lalu, saya pernah ditelepon seseorang yang mengaku
bernama ronald. dia telepon ke kantor dan mengajak bertemu.

dalam pertemuan di sebuah kedai kopi, dia menawarkan informasi
tentang "kebusukan" makindo. kira-kira ceritanya tentang komplain
sejumlah investor di singapura yang duitnya digunakan makindo
untuk investasi di indonesia. dia sendiri mengaku mewakili kepentingan
para investor singapura itu.

saya kemudian minta dia membawa data-data awal. tapi data-data
yang dibawa dalam pertemuan berikut kurang meyakinkan. maka
saya katakan cerita seperti itu sulit ditulis.

dia kemudian mencoba merayu dengan mengatakan akan memasang
iklan. saya jawab, sebagai redaksi saya tak ada urusan dengan iklan.
tak mau menyerah, dia terus membujuk. kali ini mengiming-imingi
saya dengan sejumlah uang. iming-iming itu juga saya tolak.

dari tiga kali pertemuan, saya simpulkan informasi yang dia tawarkan
sama sekali tidak layak untuk ditulis. menyadari sikap saya dia tak
pernah menghubungi saya lagi.

buat wartawan, informasi yang akurat dengan verifikasi yang cukup
merupakan modal awal untuk menulis berita.

sebelum ini, saya dan teman-teman di kantor saya telah beberapa kali
menulis tentang makindo secara kritis. tentu saja dengan data yang cukup.
insya Allah kami akan terus seperti itu.

Cerita dibalik Iklan Belakang Majalah FORUM Keadilan (Pemerasan Terhadap PT MAKINDO dan Gunawan Jusuf episod V)

Saya tidak begitu mengenal nama yang anda maksudkan. Tapi saya bisa sedikit membagi pengalaman dengan anda perihal kondisi di FORUM yang mungkin berguna.

Di FORUM ada nama Priyono Bandot Sumbogo. Dia ini wartawan yang, katanya, sangat senior. Karena sudah melanglang buana dari TEMPO, GATRA, GAMMA (alm) dan PILARS. Lalu menjadi penanggungjawab redaksi FORUM.

Tapi, kinerjanya sungguh tidak menunjukkan kalau dia itu wartawan yang sudah senior. Justru bila bekerja dengannya, kita mesti memiliki benteng idealisme sendiri. Bukan karena dibelaki oleh pemimpin di redaksi.

Biasanya, seorang pemimpin di redaksi, mampu menembus nara sumber yang tak tertembus seorang wartawan sekelas reporter. Tapi, di FORUM, jangan harap hal itu terjadi. Karena si pemimpin di redaksinya memang tak bisa melakukan apa-apa. Bila redaksi memutuskan untuk wawancara Presiden misalnya, jangan harap ada lobby khusus dilakukan Priyono untuk bisa mendapatkan wawancara itu. Yang dia lakukan cuma duduk tenang saja di mejanya. Entah memikirkan apa. Sebaliknya, justru reporter dan redaktur yang kelimpungan mengejarnya. Untung kalo jumlah reporter dan redakturnya banyak, di FORUM, jumlah awak redaksinya cuma belasan orang saja.

Jangan harap pula anda diajarkan taktik dan strategi mengejar nara sumber yang eksklusif. Karena Priyono tak pernah melakukan itu. Malah dia mengajurkan agar semua penulis berita melakukan kompailing berita saja. artinya mengutip berita di koran-koran atau media online. Cuma itulah yang sanggup dia lakukan. Parahnya lagi, bila kutipan itu diambil, tak disebutkan media apa yang dikutip. Jadi dibuat seolah-olah FORUM yang mendapatkannya. Padahal itu adalah kutipan dari koran. Kalau tidak percaya, coba saja cek FORUM setiap edisinya. Pasti anda bakal mendapatkan berita yang anda buat di koran anda. Periksalah dengan teliti. Bahkan judul dan kalimatnya pun tak diubah. Karena memang itu adalah instruksi langsung dari Priyono, sang penanggung jawab redaksi!! (keterangan ini siap saya pertanggungjawabkan di depan hukum sekalipun, karena memang dijamin kebenarannya) .

Untungnya, tak semua instruksi si pemimpin itu dipatuhi. Beberapa awak redaksi sempat berupaya untuk melakukan liputan sendiri tanpa mesti mengutip dari media lain. Konsekwensinya, ya pasti kerjaan akan tambah banyak. Itu tanpa dibarengi bonus kerja atau kenaikan gaji. Jadi, bila anda bekerja 24 jam sehari pun, jangan harap ada uang tambahan gaji. Hanya dibayar sebulan gaji seperti biasanya. syukur bila di bayar full, karena yang sering malah dibayar tidak penuh.

Pastinya, pemimpin di redaksi tidak menjamin dia itu sudah puluhan tahun menjadi wartawan. Mau dari lahir sudah menjadi wartawan, tapi kalau otaknya kotor, tidak menjamin bakal menjadikan media yang dikelolanya bisa maju. Tidak jadi jaminan pula dia itu pernah melanglang buana di berbagai media. kalau tetap tidak punyak kemampuan menjadi jurnalis, ya sama saja. FORUM adalah bukti nyatanya.

Saya bukan bermaksud menjelek-jelekkan media itu. Tapi pengalaman yang didapatkan tentu bisa jadi masukan.

salam,

FORUM Seperti Barang Subhat

Menjadi wartawan memang prestisius. Bisa bertemu dengan banyak orang-orang penting di negeri ini dengan dalih wawancara. Menjadi wartawan FORUM, tentu sangat prestisius karena majalah ini pernah terangkat pamornya hingga setinggi langit. Meski itu dulu, setidaknya pamornya masih membekas hingga sekarang.

Orang-orang yang kini bergabung dengan majalah FORUM tentu terkena imbas pamor FORUM yang dulu pernah bagus. Setidaknya ini menjadi kebanggaan tersendiri bagi orang-orang yang kini bergabung dengan majalah ini. Karena banyak orang yang belum tercerahkan yang menganggap bahwa FORUM sekarang masih seperti dulu. Saya katakan tidak.

Saya salah seorang yang keluar dari FORUM sejak Nopember 2006. Bersamaan dengan bung Irawan dan beberapa kawan yang lainnya. Sebelumnya juga wartawan FORUM banyak yang keluar masuk. Jika ditanya, alasannya keluar dari FORUM, saya yakin seyakin-yakinnya jawaban akan sama. Diantaranya yang dikeluhkan oleh Bung Irawan.

Tulisan ini saya posting, bukan semata-mata saya membenci seseorang atau disuruh seseorang, atau malah diberi bayaran oleh orang. Saya hanya berangkat dari hati nurani sekaligus mengklarifikasi berita yang dikeluarkan oleh FORUM bahwa kami adalah wartawan ilegal.

Sebenarnya bukan pada perkara wartawan ilegal tapi ada pernyataan lain yang mengiringinya, yakni kami dikatakan oleh FORUM belum mengembalikan inventaris FORUM. Hah? inventaris!! !!!!!!!

Terus terang kami kurang mengerti apa yang dimaksud dengan inventaris FORUM. Karena selama bekerja saya membeli perlengkapan seperti taperecorder dengan uang sendiri. Sebagian tentang ini sudah dibuat hak jawabnya ke FORUM, tapi tidak dimuat.

Kalaupun idcard yang dimaksud belum dikembalikan? Id card ini tak ada harganya bagi kami, apalagi kalau dihitung dengan gaji-gaji kami yang belum dibayarkan selama kerja. Terus terang kami ingin keluar dari FORUM sudah semenjak lama, kalau kami cukup bertahan karena kami berangkat pada prinsip kami pribadi, yakni ingin belajar menulis.

Tapi setelah banyak belajar dari sejumlah kawan dan seminar, kami cukup sadar belajar nulis di FORUM tidak cukup bagus. Terlepas dari kesejehteraan. Tidak baik bagi perkembangan anak bangsa yang mengharapkan bangsa ini bisa lebih baik.

Saya sarankan kepada para pembaca millis ini untuk tidak berkeinginan menjadi wartawan FORUM, jika anda tidak ingin terjebak pada persoalan jurnbalistik yang amburadul karena keterseokan keadaan perusahaan. FORUM ini seperti barang subhat (setengah haram hukumnya), enggak jelas kepemilikannya, banyak utangnya, banyak dosanya, dsb.

kalaupun ada wartawannya bisa bermegah2an, percayalah itu bukan dari gaji yang diberikan dari perusahaan, mungkin senggol sana, mungkin senggol sini.

"Jangan biarkan dosa-dosa terus menumpuk
Segera, perlahan untuk bertobat
Sebelum musuhmu banyak
Tak mati dengan syahid hanya untuk mempertahankan FORUM
Yang ada hanya mati nyungseb"


Salam

Robby SOegara yang awam soal jurnalistik

Cerita dibalik Iklan Belakang Majalah FORUM Keadilan (Pemerasan Terhadap PT MAKINDO dan Gunawan Jusuf episod IV)

Irawan Santoso wrote:
Bung Santun Sinaga Yth.
Terima kasih atas perhatian anda selama ini. Bung memang sangat santun sekali menuturkan apa yang Bung alami dengan FORUM.

memang benar Bung. Di edisi akhir tahun lalu, rencananya kita (waktu itu saya maih bergabung dengan FORUM yang dikelola Pt Forum media utama), bakal membuat sebuah edisi khusu tentang Advokat Terbaik tahun 2006.

Di hari senin, seperti biasa, kami mengadakan rapat redaksi berupa perencanaan. Disitulah dibahas rencana itu. Ide itu memang berawal dari saya. Saya mengusulkan agar edisi khusus itu seperti itu. Karena memang FORUM pasarnya adalah kalangan hukum. terlebih lagi selama beberapa tahun FORUM memang tak pernah membuat hajatan untuk kalangan advokat seperti yang dilakukan sewaktu dijaman Karni.

Lalu saya pun mengusulkan konsep dan formatnya. Ternyata diterima sebagian. Konsep edisi khusus diterima dengan menampilkan profil pengacara. Tapi bukan pengacara Terbaik. Melainkan siapa saja pengacara yang bersedia membayar. Titah itu keluar dari mulut Priyono. Waktu itu dia ngotot untuk membuat edisi khusus pengacara, KHUSUS yang Bayar saja. Tidak perlu terbaik. Alhasil ide saya itu pun kalah. Semula, saya ditunjuk sebagai ketua tim edisi khsus itu. Tapi setelah melihat yang diprofilkan adalah pengacara siapa saja, asalkan bayar, tentu saya tidak bersedia. Alhasil ditunjuklah orang lain yang menjadi ketua tim edisi khusus itu.

Rencananya, edisi itu bakal keluar sepekan setelah liburan lebaran. Lalu, dibuatlah TOR liputan dan dibagikan kepada seluruh awak redaksi. Saya sendiri kebagian meliput dua orang advokat. Mereka adalah Adnan Buyung Nasution dan Henry Yosodiningrat. Saya berpikir, dua orang ini adalah pengacara kawakan dan memiliki prinsip. Tidak mungkin di todong agar membayar demi dimuat sebagai Profil di FORUM. sama saja dengan memalukan diri sendiri. Tapi, ternyata penanggungjawab redaksi, Priyono Bandot Sumbogo, tidak mempedulikan hal itu. Dia tetap "memerintahkan" agar saya mengubungi dia pengacara kesohor itu agar memasang profilnya untuk FORUM. Tentu dengan kesepakatan seperti di rapat, mereka harus BAYAR!!!

Memang, sangat berat sekali waktu itu. Di satu sisi, saya mesti bekerja mematuhi perintah penanggungjawab redaksi, tapi di sisi lain mempertaruhkan harga diri. Alhasil saya lebih memilih untuk menyelamatkan harga diri saaya. Liputan dan wawancara itu tidak saya lakukan. Dan edisi khusus versi pengacara bayar itu tidak jadi diterbitkan. Syukur Alhamdulillah.

Edisi khusus tentang pengacara bayar itu memang ambisi Priyono seorang. Dia berupaya agar mendapatkan uang lewat edisi itu. Walaupun tata caranya sungguh tidak beretika secara jurnalistik. Kami semua, jujur, para wartawan yang mengikuti rapat itu terbengong ketika dia memerintahkan hal demikian. Karena memang nama FORUM sangat berharga buat kalangan advokat maupun kalangan hukum. Tapi, entah mengapa, seolah priyono tidak mempedulikan hal itu. baginya, yang penting bisa menghasilkan uang.

jadi, Bung Santun, wajar saja anda dihubungi oleh teman anda yang pengacara itu. karena kebetulan teman anda itu memiliki hubungan dengan Priyono. Syukurlah anda tidak menjadi korban. Syukur juga anda tergolong sebagai advokat yang tidak mementingkan publikasi dengan menghalalkan segala cara.

Tentang tulisan saya, memang kini tak didapati lagi di FORUM yang dikelola Priyono itu. Tapi tidak lama lagi pasti anda akan bisa mendapatkannya. (Saya tersanjung dengan pujian anda).

Lalu perihal tulisan saya yang sempat memenangkan Anugerah Adiwarta Sampoerna 2006. Yang perlu Bung ketahui, tulisan saya yang berhasil menang itu berjudul "Misteri Suap Probosutedjo di Mahkamah Agung". tulisan itu berisikan analisis secara hukum tentang posisi kasus masalah itu. Diturunkan di rubrik Fokus pada edisi 02, Mei 2006. Nah, disitu saya menuliskan kisah suap terakbar di dunia peradilan kita itu menjadi tiga bagian. Bagian I mengulas tentang kronologis suap menyuap itu. Mulai dari proses ketemuanya Harini Wijoso dan Pono Waluyo. Lalu proses mengalirnya uang dari Probosutedjo ke Pono Waluyo sampai tertangkap KPK. Bagian II mengulas tentang hubungan Bagir Manan dengan kasus tersebut. karena banyak media seolah menjustifikasi bahwa Bagir memang terlibat dalam kasus itu. Di bagian ini, saya berani menyatakan bahwa secara hukum, Bagir tidak terlibat sama sekali. karena nama dia hanya di catut. Di bagian III, analisis dengan hubungan antara KPK dan Probo. Ternyata KPK menerapkan standart ganda dengan tidak menampilkan Probo sebagai tersangka. Padahal dia adalah pelaku penyuapan. pastinya, saya bisa mengirimkan kepada anda bila memang berminat membaca tulisan tersebut.

Nah, proses pencarian berita tentang kasus itu tentu tak terlalu sulit. Investigasinya juga tak memakan banyak biaya. Karena kejadiannya hanya di Mahkamah agung dan KPK. Jadi saya hanya keluyuran di dua lembaga itu saja. tentu untuk mendapatkan bahan-bahan yang diperlukan. Kelebihannya mungkin di analisis posisi kasus yang memang berbeda dengan media-media lainnya. Analisis itu tentu tak datang sendiri. Hasil diskusi dengan beberapa pengacara dan alhi hukum pidana. Maka jadilah sebuah tulisan panjang tentang kasus itu. Tentu tidak sulit. Walaupun FORUM tidak membayar biaya investigasinya.

yang pasti, memang sangat menyedihkan melihat pengelolaan majalah FORUM oleh orang-orang semacam itu (benar yang bung katakan). FORUM kini memang tak sama seperti di jaman Karni. Tapi, waktu itu, kami beberapa awak FORUM yang masih muda tetap berupaya menampilkan berita yang berkualitas. Walaupun manajemen dan keuangannya ambrol. Namun lama-kelamaan kami juga tentu tak tahan dengan ulah penjabat redaksi yang seperti itu.

Saya hanya bisa berharap, agar jangan ada lagi orang muda yang terjebak diiming-imingi menjadi wartawan FORUM yang tergabung dalam PT Forum Media Utama. Karena memang perusahaan ini tidak jelas legitimasinya. Secara hukum, posisi perusahaan ini tidak benar. Mungkin ini akan kami buktikan di pengadilan.

Dan, bila penjabat redaksi di FORUM membaca postingan ini, pastilah saya bakal dimuat lagi di rubrik FORUM Pembaca. Tentu dengan segala tuduhan bahwa saya dan beberapa awak FORUM yang lain dianggap illegal. Padahal, selama bergabung di bersama PT Forum Media utama, sudah sangat menyiksa. Karena tak pernah bisa mendapatkan gaji yang layak dan jaminan kesehatan yang nihil. Padahal tulisan yang dibebankan sangat banyak. Tapi memang begitulah watak dari penjabat redaksi di FORUM kini. Seolah tidak pernah mengenyam pendidikan jurnalis yang benar. Padahal itu pernah bekerja di TEMPO, GATRA dan GAMMA. Tapi, ya wajarlah, karena beliau juga ternyata dipecat dari tiga media itu. Sialnya, kini FORUM dipimpin oleh orang seperti itu. Mudah-mudahan Tuhan bisa menyadarkan.

Cerita dibalik Iklan Belakang Majalah FORUM Keadilan (Pemerasan Terhadap PT MAKINDO dan Gunawan Jusuf episod III)

Waduh, betul-betul gila!! Saya baru sadar setelah membaca tulisan bung Irawan ini. Saya tidak menyangka majalah FORUM yang kesohor itu ternyata sekarang di isi oleh orang-orang semacam itu.

Tapi saya juga memang punya cerita yang hampir sama. Cerita ini saya dengar dari teman saya yang berprofesi sebagai pengacara. Namanya tidak perlu saya sebutkan. Tapi dia berkantor di jalan yang sama dengan alamat FORUM. Dia hampir di todong FORUM

Waktu itu, di akhir tahun 2006, katanya FORUM bakal membuat sebuah edisi khusus yang isinya tentang profil pengacara-pengacara . Tapi bukan profil pengacara-pengacara pilihan. Tapi siapa saja pengacara boleh dijadikan profil. Bukan pengacara terbaik versi FORUM misalnya.

Untuk bisa di profilkan di FORUM, ternyata syaratanya tidak susah. Pengacara yang berminat cukup membayarkan sejumlah uang. Jumlah yang diminta juga tidak banyak. Hanya berkisar 10 jutaan saja.

Nah, kebetulan teman saya yang pengacara itu kenal dengan pimred FORUM. Suatu kali, pimred FORUM itu datang kekantornya dan berbincang-bincang tentang hal itu. Si Pimred itu (tidak etis bila saya sebutkan namanya) langsung menunjuk teman saya itu untuk menghubungkan dengan kalangan pengacara-pengacara . Maksudnya agar setiap pengacara yang bersedia di profilkan agar segera memasang di FORUM untuk edisi khusus akhir tahun. Saya juga termasuk salah satu yang dihubungi.

Mendengar hal itu, tentu saya kaget. Karena tidak menyangka ternyata FORUM melakukan tindakan seperti itu. Artinya membuat profil pengacara untuk dijadikan edisi khusus. Hal ini sama saja dengan menjatuhkan wibawa pengacara. Karena advokat itu pada intinya tidak boleh memasang iklan. Terus terang saya kecewa mendengar rencana majalah FORUM yang dari dulu sudah dikenal sebagai bacaan orang hukum.

Saya hanya berharap agar melalui forum ini, majalah FORUM bisa tersadarkan. Janganlah menjadi media yang tidak bernilai. Karena sejak dulu FORUM adalah majalah berkelas dan selalu menjadi panutan. Tapi kini saya lihat malah semakin parah. Berita-berita yang ditulis tidak lagi menggigit untuk mengulas tentang kasus hukumnya.

Apalagi bung Irawan, saya lihat sudah tidak ada lagi tulisan dan analisis khas anda di majalah FORUM. Padahal anda sempat memenangkan Anugerah Adiwarta Sampoerna lewat tulisan anda. Tapi, saya sempat terpikir, bagaimana anda bisa menghasilkan tulisan yang sangat bermutu bila kondisi majalah anda itu seperti itu? Tidak digaji dan tidak mendapatkan uang transport yang cukup? Karena tulisan anda itu mengalahkan dua nominator dari Tempo yang notabene memiliki iklim kerja yang lebih baik?

Salam,
Santun Sinaga, SH

Cerita dibalik Iklan Belakang Majalah FORUM Keadilan (Pemerasan Terhadap PT MAKINDO dan Gunawan Jusuf episod II)

Memang hal seperti itu lazim di media manapun. Tapi cerita di FORUM Keadilan (selanjutnya ditulis FORUM) sangat berbeda. Karena media ini memang sudah memiliki nama besar. Jadi saat ini hanya dimanfaatkan oleh segelintir penjabat redaksi saja untuk mencari uang. Tanpa mempertimbangkan prinsip jurnalistik yang baik.

Cerita tentang Makindo dan kisah foto Gunawan Jusuf yang dipanpang terus di halaman cover belakang FORUM itu cukup jadi bukti. Waktu itu, Priyono Bandot Sumbogo, dia inilah yang jadi penanggungjawab sementara di FORUM, bermakdus mengambil duit gede dari PT Makindo. Tapi ceritanya dia kena tipu.

Karena gagal ngambil duit Makindo, akhirnya Priyono pake cara lain. Dia nyeberang memihak lawannya Makindo di. Kebetulan ada "bencong" yang rajin datang ke FORUM. Bencong ini mengaku bisa menghubungkan dengan si lawan Makindo itu. Sementara Priyono memang tak punya hubungan dengan beliau. (Dengan siapapun dia tak punya memang). Alhasil, mantan wartawan yang bekas di pecat TEMPO, GATRA, GAMMA dan PILARS itu pun percaya saja sama bencong. Tentu dengan konsekwensi si bencong itu mampu menyampaikan maksud Priyono agar membayar sejumlah yang kepadanya.

Maka, jadilah cerita tentang Gunawan Jusuf di buat di rubrik forum utama. Wajah Gunawan di pampang di cover depan. Judulnya langsung memvonis, "The King of Crime". Tanpa ada wawancara dari pihak Gunawan Jusuf, berita itu tetap diturunkan.

Ternyata, setelah terbit, di bencong itu pun menghilang. Priyono cuma gigit jari. Dia kena tipu. Kabarnya, si bencong itu sudah mendapat uang dari lawannya Makindo itu. Tapi tidak diberikan ke Priyono. Alhasil, si penanggung jawab redaksi itupun cuma bisa menulis di FORUM. Dia ditipu bencong. Tentu karena niatnya mengambil duit dari Makindo tak kesampaian.

cerita berlanjut. Ternyata Priyono masih penasaran. Dia mencari jalan lain. Dia berusaha menghubungi pengacara Gunawan Jusuf. Pengacara itu Hotman Paris Hutapea. Hotman tentu marah ketika Priyono menyampaikan maksud dan tujuannya. Ya pasti ingin mendapatkan uang dari Makindo. priyono pun kena damprat habis-habisan sama Hotman. Sudah tak dapat uang, kena damprat lagi. Kaccian sekali deh pemred yang satu ini. Sama sekali tak ada wibawanya.

dendam dengan Hotman, ternyata dia mengintruksikan agar menulis panjang tentang pengacara itu. Priyono pun memberi instruksi di rapat redaksi. Hotman harus ditulis sebagai pengacara hitam. Tapi Priyono sama sekali tak memberi bahan dan data sedikitpun. Dia hanya emosi karena dimarah-marahi Hotman.

Saya, yang kebetulan waktu itu menjabat redaktur hukum, ditugasi menulis itu. Karena perintah penanggungjawab redaksi, tentu saya tak bisa menolak. Kisah tentang Hotman pun ditulis. Bahan dan data saya cari dengan reportase ke beberapa pengacara dan kasus yang ada. Memang, ada beberapa pengacara yang mengkategorikan Hotman tergolong "hitam".Tapi mengukurnya tentu tak gampang. Karena susah pembuktiannya. Tapi, tulisan mesti jadi. Priyono tak mau tau. Dia tetap menginginkan tulisan Hotman sebagai pengacara hitam. Tapi dia sama sekali tak berbuat apa-apa. Tak ada bantuan sedikitpun darinya.

Alhasil, saya menulisnya dengan septi. Tak langsung menohok Hotman sebagai pengacara hitam. Hanya menceritakan kisah orang yang pernah kalah ketika melawan Makindo ketika memakai Hotman. Karena menulis hukum tentu tak bisa serampangan. Tak bisa asal tuduh saja. Namun herannya Priyono sama sekali tak memahami hal itu. Padahal dia itu penanggungjawab redaksi. Tapi begitulah kondisi di FORUM.

Setelah majalah terbit, dan foto Hotman dipajang di cover depan, Hotman marah-marah kepada saya. Karena ditulisan itu nama saya yang tertulis. Bukan Priyono. Proses marahnya Hotman itu mulanya akan saya buat laporan ke Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) dan Asosiasi Advokat Indonesia (AAI) tempat Hotman bernaung. Tapi, sebelumnya saya sampaikan ke Priyono. Eh, dia malah tidak respon. Seolah laki-laki ini tak mau ambil pusing atas kejadian yang dialami wartawannya. Wajahnya memancarkan ketakutan. karena memang Priyono ini bukan orang hukum. Sama sekali tak mengerti hukum.

Pastinya, sangat menyesakkan bekerja di FORUM sebagai wartawan. Karena kita tidak dididik menjadi wartawan yang idealis. Melainkan siperintahkan untuk menulis berita yang bisa menghasilkan uang. Sungguh nafik sekali.

Kini lihatlah kondisi FORUM sekarang. Hidup segan mati tak mau. Wartawannya digaji dengan rendah sekali. Di suruh menulis sampai sepuluh halaman tiap pekan. Gajinya, alamak, sering dibayar tidak full. Kalau gaji 2 juta, sebulan kadang hanya terima 1 juta saja. Itu masih syukur, karena lebih sering tidak gajian. Padahal iklan pesanan banyak masuk. Tapi uang entah lari kemana. Bisa jadi dinikmati sendiri oleh Priyono itu.

Cerita dibalik Iklan Belakang Majalah FORUM Keadilan (Pemerasan Terhadap PT MAKINDO dan Gunawan Jusuf)

On 1/8/07, anu kuality <anu_donk@yahoo. co.id> wrote:
--- Budi Sucahyo wrote:Cerita di Balik "Iklan Cover Belakang" Majalah Forum KeadilanEntah sudah berapa edisi majalah Forum Keadilanmemajang "iklan satu halaman" yang ditempatkan dicover belakang majalah (padahal sebelumnya "iklan" itutelah muncul di halaman dalam). Kalau Anda sesekalimelihat majalah itu, cobalah tengok dan perhatikan"iklan" yang dimaksud. Ya. Sebenarnya itu bukanlahiklan komersial. Itu hanyalah sebuah "iklan" promosimajalah ini. "Masih Banyak Tunggakan Hukum BelumDiselesaikan" . Begitu kalimat di atas. Lalu,terpampang sebuah cover majalah Forum Keadilan No.10/26 Juni-2 Juli 2006. Dalam cover itu hanya adasebuah foto besar Gunawan Yusuf. Lalu, sebuah judulyang bernada provokasi, "The King of Crime".Sekilas, tak ada yang istimewa dari "iklan" itu.Namun, bagi saya, justru ini membuat tergelitik.Mengapa "iklan" itu yang muncul (atau dengan kata lainpengelola Forum memang sengaja membuat dan untukdimuat) secara berulang-ulang— tentu mungkin karenamajalah itu tidak mendapatkan iklan display lainnya(tetapi kok harus iklan yang itu?). Kedua, mengapaharus ditampilkan di cover belakang yang notabeneadalah halaman yang pasti dilihat pembaca (karena ituharga iklan di halaman ini cukup mahal)? Tentu,maksudnya agar iklan itu menarik perhatian orang.Perlu pula dipersoalkan, dari segi etika jurnalistik,judul yang dibuat pun sudah menjustifikasi, "The Kingof Crime". Apakah judul seperti ini yang diajarkan didunia jurnalistik?Terlepas dari persoalan "layak tidaknya iklan" itu(sudah pasti dilihat dari sisi manapun "iklan promosi"tersebut sangat tidak layak), ternyata selidik punyaselidik "penampakan" iklan secara terus menerus dimajalah itu punya cerita tersendiri. Kisah ini sayaperoleh dari kalangan dalam majalah Forum Keadilan itusendiri. Jadi, pengelola Forum Keadilan memang sengajamemajang iklan promosi itu dengan maksud untukmendiskreditkan alias "memeras" seseorang yangberkaitan dengan sang "King of The Crime" tersebut.Judul cover "King of Crime" majalah Forum Keadilan ituadalah laporan utama majalah itu pada Juni 2006.Munculnya cover story itu berawal ketika penanggungjawab redaksi majalah Forum Keadilan, Priyono B.Sumbogo, dihubungi oleh seseorang yang meminta agarkasus penggelapan pajak PT Makindo Tbk tidakdiekspose. Orang tersebut menjanjikan imbalan yangcukup menggiurkan, Rp 400 juta jika Majalah ForumKeadilan tidak menulis kasus tersebut.Tawaran orang itu tidak serta merta diterima. PriyonoB. Sumbogo malah meminta lebih. Penanggung jawabredaksi yang pernah bekerja di majalah Tempo, Gatra,Gamma, ini menawar Rp 500 juta. Weleh…weleh…Rupanya,sang penanggung jawab redaksi ini ingin mencarikeuntungan sebesar-besarnya. Kesepakatan tidaktercapai.Setelah itu, masih berkaitan dengan kasus penggelapanpajak PT Makindo Tbk, datang lagi "broker" lain.Broker ini langsung bertandang ke kantor ForumKeadilan di Palmerah Barat 23c. Karena sering datangke kantor, awak Forum Keadilan menjuluki si "broker"ini sebagai "bencong"--- lagak lagunya memang sepertibencong sih. Nah, si "bencong" ini ingin memanfaatkanMajalah Forum Keadilan juga untuk menangguk untung.Kali ini, Redaktur Eksekutif Majalah Forum Keadilan,Sukowati Utami, yang bernegosiasi (tentu atas arahanpenanggungjawab redaksi). Si broker menjanjikan pasangiklan dengan nominal diatas Rp 500 juta (paling tidakbisa mengamankan gaji karyawan selama dua tahun )kepada Sukowati Utami, kalau Majalah Forum Keadilanmengikuti keinginan si broker. Siapa sih yang tidaktergiur dengan uang segitu gede? Apalagi kondisikeuangan majalah Forum Keadilan sedang morat marit(untuk menggaji karyawannya saja tidak mampu).Kesepakatan diterima.Lalu ditulislah laporan utama tentang kasuspenggelapan pajak PT Makindo Tbk. Ddalam kasus ituorang yang dibidik adalah Gunawan Jusuf, DirekturUtama PT Makindo Tbk. Penulis laporan utama ini: RobbySoegara dan Sukowati Utami. Hebatnya, setelah naskahsudah selesai, si Bencong ikut memeriksa naskahsebelum naik cetak. Sungguh ini sesuatu yang palinganeh dan paling ajaib di dunia jurnalistik, yaitu adaorang di luar redaksi yang mempunyai kepentingan ikutmemeriksa atau mengedit naskah laporan utama. Justruhal itu terjadi di depan hidung penanggung jawabredaksi yang jebolan Tempo itu.Agaknya si broker itu senang. Lalu mengucurlah uang Rp50 juta untuk cetak edisi yang berisi laporan utamapenggelapan pajak PT Makindo Tbk itu. Foto GunawanJusuf, Dirut PT Makindo Tbk, dipajang di halaman muka(cover). Plus, sebuah judul, "The King of Crime".Penanggung jawab redaksi dan redaktur eksekutif ForumKeadilan tinggal memetik buah janji si broker yangakan pasang iklan selama dua tahun. Keduanya akanmendapat "jatah preman" dari uang yang dinanti-nantiitu. Di majalah Forum Keadilan memang dikenal istilah"jatah preman", yaitu komisi yang diberikan kepadaorang yang berhasil memasukkan uang ke majalah ForumKeadilan dengan cara apapun. Penanggung jawab redaksiPriyono B. Sumbogo adalah orang yang mensosialisasikanistilah itu. Dan, setiap uang yang masuk, khususnyadari "deal-deal" seperti di atas atau iklanterselubung lainnya, penanggung jawab redaksi pastimendapat "jatah preman". Besarnya berkisar 15 persensampai 30 persen. Jadi, hitung saja sendiri, "jatahpreman" yang berhasil diperoleh penanggung jawabredaksi dan redaktur eksekutif Forum Keadilan kalau sibroker itu mengucurkan duit setengah miliar.Tapi, apes. Memang bukan rejeki. Justru Forum Keadilanyang tertipu. Tunggu punya tunggu, ternyata si brokeryang bencong itu tak lagi memperlihatkan batanghidungnya di kantor Forum Keadilan. Ketika SukowatiUtami menghubungi handphone si broker, tidak adajawaban. Alamat pastinya tidak ada yang tahu. Sibroker tiba-tiba raib begitu saja. Forum Keadilan pungigit jari, cuma dapat Rp 50 juta dari janji diatas Rp500 juta.Inilah yang membuat kesal pengelola Forum Keadilan.Sebagai pelampiasan, "iklan promosi" itulah yangmuncul dalam setiap edisi Forum Keadilan. Hinggasekarang pun iklan itu masih muncul. Mungkin, iklanitu tetap dimunculkan sampai ada orang yang datangmengantarkan uang dan minta agar iklan itu tidaktampil lagi.Cerita ini pastilah akan membuat jurnalis miris. Dalammilis ini, kita sering meributkan angpau-angpau yangditerima jurnalis, padahal nilai angpau itu tidaklahseberapa. Tapi, ada angpau kakap--seperti cerita diatas--yang luput dari perhatian teman-teman jurnalis.Praktik "deal-deal kakap" yang dilakukan petinggiredaksi itu justru membuat profesi jurnalis kitatercabik-cabik. Dan, ironisnya, hal itu dilakukan olehmantan wartawan Tempo yang seharusnya menjadi panutan(mohon maaf kepada alumni Tempo lainnya, maaf jugakepada mas Farid Gaban yang alumni majalah Tempo danjuga kawan si penanggung jawab redaksi).Menurut teman dari kalangan dalam majalah ForumKeadilan itu, praktik seperti itu menjadi hal yanglumrah di majalah Forum Keadilan. Malah, sangpenanggung jawab redaksi berucap, "kalau bisa semuarubrik dijual". Maksudnya, para wartawan diminta untukmencari uang dengan menjual rubrik. Misalnya, rubrikwawancara atau profil. Seandainya ada orang yang mautampil dalam rubrik wawancara dan mau memberikan uangalias membayar, maka orang itu akan menjadi prioritas,terlepas dari si tokoh itu orang yang kompeten ataubukan (pernah Forum Keadilan memuat wawancara denganAdrian Waworuntu, penjarah uang Bank BNI itu, lalumendapat bayaran Rp 50 juta). Demikian pula rubrikprofil. Kalau ada orang yang mau diprofil dan membayaruang, maka orang itu pasti diutamakan. Nah, setiapuang yang mengalir dari praktik seperti itu, sangpenanggung jawab redaksi mendapat "jatah preman".Tapi, begitulah keadaan majalah Forum Keadilansekarang ini. Jangan Anda bandingkan dengan ForumKeadilan pada jaman Karni Ilyas. Di bawah nakhodaKarni Ilyas, mantan wartawan Tempo juga, kala itumajalah Forum Keadilan cukup terpandang. Oplahnyamelewati 100.000 eksemplar (karena menjadisatu-satunya majalah berita setelah majalah Tempo danEditor, serta tabloid Detik diberangus). Pada waktuitu pula, banyak pula eks Tempo yang bekerja dimajalah Forum Keadilan.Kondisi Forum Keadilan mulai menurun setelah ditinggalKarni Ilyas. Oplah mulai merosot terlebih setelahmajalah Gatra hadir, lalu majalah Tempo terbitkembali. Konflik internal di dalam tubuh majalah iniyang acap kali terjadi (kalau masalah ini diuraikanperlu satu cerita tersendiri dan pasti banyak versi)semakin membuat kondisi Forum Keadilan goncang. Hinggaakhirnya majalah Forum Keadilan benar-benarterperosok. Forum Keadilan saat ini sama sepertilangit dan bumi bila dibandingkan pada jaman KarniIlyas.Namun, bagi saya, yang membuat miris adalahpraktik-praktik atau deal-deal yang dilakukan redaksiuntuk mendapatkan pemasukan dengan mengorbankan etikajurnalisme. Parahnya, kalau praktik atau deal itudilakukan secara diam-diam oleh petinggi redaksi. Dan,uang yang masuk justru mengalir ke kantong pribadibukan ke perusahaan. Saya tidak tahu apakah media lainjuga melakukan praktik yang sama. Mungkin teman-temanmilis bisa memberi informasi.
-- Si vis pacem Parabellum ---Rahmad Budi HRepublikaJl Warung Buncit Raya 37 Jaksel0856 711 2387

Begnilah Ulah Penanggungjawab Redaksi Forum Keadilan

Mediacare, Mailinglist Ala PKI

Senin, 24 Desember 2007, sekitar pukul 20.00 WIB. Saat
itu saya sedang berada di sebuah mall di Jakarta
Selatan. Saya tengah sibuk memilih kaset DVD film
kartun anak-anak. Anak saya sedang gemar-gemarnya
menonton film kartun seperti Avatar, Naruto, atau film
kartun laga seperti Ultraman Gaya atau Power Rangers.
Tiba-tiba terdengar dering messages. Ah mungkin SMS
dari istri saya yang sedang menunaikan ibadah haji di
Tanah Suci. Biasanya pada jam-jam itulah istri saya
mengirim SMS. Di Tanah Suci mungkin sekitar pukul
15.00, saat menunggu shalat Ashar. Di sela-sela waktu
itu, dia sering mengirim SMS berkomunikasi dengan
saya.

Saya rogoh handphone dari kantong celana. Lalu saya
buka pesan. Ternyata bukan dari istri saya. Muncullah
pesan seperti ini.

“Hoi Bud, masih hp you nih).Terbitan beok ada foto you
dan Irawan ditutup matanya, sebagai oknum eks wartawan
FORUM pemakai Mediacare, mailinglist ala PKI”

(Kutipan sesuai dengan aslinya seperti tertera pada
SMS yang masih saya simpan. Ada kesalahan ketik,
seperti “beok” maksudnya mungkin “besok”. Yaitu
majalah Forum Keadilan yang terbit pada Senin, 31
Desember 2007).

Rupanya SMS dari Pri (begitu nama yang tertulis di hp
saya). Lengkapnya Priyono B (Bandot) Sumbogo,
penanggungjawab redaksi majalah Forum Keadilan. Sudah
berbulan-bulan saya tidak menerima SMS dari orang itu.
Membaca pesan itu, saya lantas bertanya-tanya, ada apa
lagi nih? Tidak ada angin, tidak ada hujan, kok
tiba-tiba ada SMS seperti itu. Tapi, saya tidak
membalas SMS itu. Seperti biasa, saya memang tak
pernah membalas SMS dari orang itu. Sebelumya orang
itu memang sering mengirim SMS kepada saya, tapi saya
hanya membacanya sekilas kemudian men-delete-nya. Saya
menganggapnya bukan SMS yang penting dibalas, hanyalah
SMS sampah. Kalau dibalas, selain rugi harus
kehilangan pulsa, juga tidak bermanfaat.

SMS itu kemudian saya forward ke Irawan. Saya tanya
kepada Irawan, ada tulisan apa tentang Forum Keadilan
di Mediacare. Ternyata tidak ada posting apa-apa
tentang Forum Keadilan di Mediacare. Lalu mengapa
orang itu mengirim pesan seperti itu kepada saya?
Barangkali ada postingan di Mediacare yang masih
membuat penanggungjawab redaksi Forum Keadilan itu
menyimpan dendam. Meneketehe. (mana aku tahu?)

Setelah SMS tadi, saya menerima beberapa SMS lanjutan.
Tapi saya tetap tidak membalas. Karena saya memang
nggak ngerti. Sampai pada keesokan harinya, 25
Desember, sore, penanggungjawab redaksi Forum Keadilan
itu masih mengirim SMS kepada saya. Salah satunya
berbunyi seperti ini.

“Ndal punya foto raditya mediacare. Biar tar dipasang
sama you and begundal irawan”.

Wah saya pikir orang ini memang ndableg. Perlu juga
sekali-sekali dikasih tahu. Akhirnya saya balas
seperti ini.

“You calon doktor bego amat sih. Jangan asal tuduh!
Sorry gw nggak ikut mediacare. Cerdas dikit dong
(eh..iya…preman mana ada yang cerdas…..)”

Orang itu kabarnya memang sedang mengambil program
doktor di UI. Gila juga, dalam hati saya,
mem-bego-bego- in calon doktor. (Yah kapan lagi bisa
mem-bego-bego- in calon doktor. Kalau sudah jadi
doktor, mungkin ia akan ingat bahwa hanya sayalah yang
pernah mengatakan dia bego, he…he…he). Bagaimana tidak
bego? Cek dan ricek adalah hal yang paling elementer
sebagai seorang jurnalis. Tak ada cek dan ricek sama
sekali. Asal tuduh saja. Tak heran kalau majalah Forum
Keadilan sering suka main tuduh tanpa cek dan ricek
sehingga kehilangan kredibilitas di mata media lain.

Perlu saya tegaskan bahwa saya memang bukan anggota
milis mediacare. Berani sumpah. Jadi tidak tahu
apa-apa tentang mediacare. Saya hanya anggota milis
Jurnalisme. Dan, itu pun, sudah sejak setahun ini saya
tidak pernah mem-posting. Saya hanya ikut Jurnalisme
secara pasif. Baru inilah postingan saya (itu pun
kalau diijinkan moderator.mas Farid Gaban yang juga
teman orang itu. Tadinya saya pesimis, karena
postingan ini menyangkut milis tetangga bukan tentang
Jurnalisme. Tapi saya pikir, rekan-rekan juga perlu
tahu).

Orang itu dikenal memang sering membuat perkara.
Menurut cerita yang pernah saya dengar dari kang
Dedeng (sekarang sekretaris redaksi Forum Keadilan),
di Majalah Gatra dulu orang itu pernah ribut dengan
Dwitri Waluyo, bahkan nyaris terjadi pemukulan. Di
Forum Keadilan, juga begitu. Ribut dengan Muhammad
Saleh, dan nyaris pula baku hantam dengan Ridwan
Pangkapi. Dia juga menzhalimi Ila Jamilah (sekretaris
direksi dan masih tercantum sebagai promosi Forum
Keadilan). Ila pernah berkata kepada saya, hanya
dengan mendengar suara orang itu, ia mengaku sudah
enek, serasa mau muntah. Begitu pula, orang itu
menzhalimi Suroso (waktu itu wartawan Forum Keadilan).
Juga orang itu bermasalah dengan Noorca M. Massardi
dan keluarganya. Dia juga bermusuhan dengan Tony
Hasyim, waktu itu Wapemred Forum Keadilan, di mana
Priyono pernah merengek-rengek agar bisa masuk di
Forum Keadilan. Jadi memang orang itu selalu membuat
masalah di tempat kerja dan bermusuhan dengan banyak
orang.

Di sebuah organisasi (saya lupa namanya), setelah
hengkang dari majalah Gamma, orang itu juga bermasalah
dengan Muchdi PR. Bahkan, dari cerita Kang Dedeng,
orang itu tidak akur dengan Amran Nasution, sesama
alumni Tempo. Padahal, hubungan keduanya amatlah
dekat. Amran Nasution sebelumnya meng-anak-emas- kan
orang itu. Tapi, orang itu menikam dari belakang.
Pernah pula bersama orang itu, saya bertemu dengan
Djafar Bedjeber, waktu itu politisi Partai Bintang
Reformasi (PBR). Orang itu, yang juga mengaku sebagai
partisan PBR, “kasak kusuk” tentang dana dari Djajanti
Group Prajogo Pangestu. Dan, setelah pertemuan, orang
itu berkata kepada saya, “Gue seneng kalau mereka pada
berkelahi”. Edan, pikir saya dalam hati waktu itu,
ada orang yang bangga telah mengadu-domba seperti itu.

Mailinglist ala PKI? Bukan hal yang aneh kalau orang
itu membuat perkara. Sekarang dengan anggota milis
Mediacare. Secara tidak langsung, sebenarnya orang itu
bermasalah juga dengan anggota milis Jurnalisme.
Sebab, banyak anggota milis Jurnalisme adalah juga
anggota milis Mediacare. Atau tak mau menyebut
Jurnalisme sebagai mailinglist ala PKI karena
dimoderatori mas Farid Gaban, yang juga mantan orang
Tempo? Entahlah. Tapi, menurut saya, mailinglist
adalah tempat berdiskusi, tempat berkreasi, sharing
informasi, tempat berbagi sepanjang mengikuti koridor,
yaitu aturan milis seperti ditetapkan moderator—secara
berkala moderator Jurnalisme rajin mengingatkan aturan
itu kepada anggota milis.

Seingat saya Jurnalisme pernah mendiskusikan soal
poligami Ade Armando atau soal intrik di redaksi
Global TV seiring pergantian pimpinan redaksi di
sana—naiknya Yadi Hendriyana, pernah juga bekerja di
Forum Keadilan, menjadi wakil pemimpin redaksi.
Diskusi atau posting mengenai hal itu bukankah sah-sah
saja sepanjang ada fakta dan sesuai dengan aturan
milis. Apakah ada yang salah? Rasanya kok tidak ya.

Adalah fakta juga kalau saya mengungkapkan bahwa
Priyono B. Sumbogo sebagai penanggungjawab redaksi
Forum Keadilan pernah menerima uang sebesar Rp 50 juta
dari Adrian Waworuntu, terpidana kasus pembobolan bank
BNI senilai Rp 1,3 triliun. Ini terjadi pada tahun
2005. Lewat seorang temannya sesama mahasiswa
pascasarjana Kriminologi yang menjadi pegawai LP
Cipinang. Ah, saya lupa nama pegawai itu. Mungkin
Hadi Rahman, saat ini masih di AJI Jakarta, bisa
mengingatnya. Karena Hadi Rahman terlibat langsung
dalam “proyek” ini—dan pastilah “dapat
bagian”—termasuk mewawancarai dan menulis hasil
wawancara dengan Adrian Waworuntu itu lalu muncul
sebagai cover depan majalah Forum Keadilan, dengan
wajah Adrian Waworuntu dan teks judul (kalau tidak
salah). “Saya Hanya Kambing Hitam”. (Sudah menjadi
terpidana masih juga bisa membela diri lewat wawancara
itu). Baik Priyono maupun temannya sesama mahasiswa
pascasarjana Kriminologi itu tentu sudah melihat
peluang (memang ada niat) bisa mendapatkan uang dari
Adrian Waworuntu. Dan temannya yang pegawai LP
Cipinang itu kecipratan komisi, saya lupa pastinya,
antara Rp 15 juta sampai Rp 20 juta. Jumlah yang besar
untuk seorang pegawai negeri. Hebatnya, keduanya
belajar di pascasarjana kriminologi, tapi malah
bertindak kriminal.

Adalah fakta juga kalau saya mengungkapkan bahwa
Priyono B. Sumbogo sebagai redaktur eksekutif majalah
Forum Keadilan pernah meninggalkan tugas dan
kewajibannya, bahkan pada saat yang sama bekerja di
Majalah Pilars milik Tomy Winata. Ini terjadi ketika
Noorca M. Massardi, sebagai pemimpin redaksi Majalah
Forum Keadilan, memperpanjang masa percobaan Priyono
sebagai redaktur eksekutif. Tapi, Priyono menolak
perpanjangan masa percobaan itu. Noorca tentu punya
pertimbangan dan tetap pada keputusannya. Priyono
mangkreng dan mutung. Hubungan Noorca dan Priyono
memang tidak bagus. Ini membuat suasana pekerjaan
menjadi tidak kondusif bagi Priyono. Saat itulah ia
meninggalkan tugas sebagai redaktur eksekutif. Secara
diam-diam, Priyono malah bekerja di Majalah Pilars.
Tapi, ia tidak melepaskan statusnya di majalah Forum
Keadilan. Seharusnya, kalau mau gentle, ia langsung
menyatakan keluar dari Majalah Forum Keadilan. Ini
tidak dilakukannya. Sedangkan tugas dan kewajibannya
sebagai redaktur eksekutif dikerjakan Kang Maman
Gantra. Priyono bukan saja disersi, tapi lebih dari
sekadar disersi.

Keadaan berbalik setelah Noorca memindahkan kantor
Forum Keadilan dari Wisma Fajar, Senayan, ke rumahnya
di Jl. Bank. Karyawan menolak pemindahan itu. Di saat
itulah, Priyono yang juga sudah berseberangan dengan
Timbo Siahaan, pemimpin umum Majalah Pilars, kembali
lagi ke Forum Keadilan. Dia meninggalkan tugas dan
kewajibannya di majalah Pilars—menjadi disersi lagi.
Berkat loby Ila Jamilah (sekretaris direksi yang
berulangkali mengkomunikasikan keluhan karyawan kepada
Rahmat Ismail, direktur utama sekaligus pemegang
saham), akhirnya karyawan bisa menerbitkan Forum
Keadilan tanpa Noorca M. Massardi. Dalam kekosongan
pimpinan seperti itu, Priyono B. Sumbogo mengangkat
dirinya sendiri sebagai penanggungjawab redaksi
(ingat, bukan pemimpin redaksi).

Saya sering mengibaratkan majalah Forum Keadilan itu
seperti sebuah kendaraan tua yang tidak dirawat dan
ditinggalkan pemiliknya (pemegang saham). Noorca M.
Massardi adalah sopir resmi kendaraan itu karena ia
mendapat mandat dari direksi. Setelah Noorca pergi,
tak ada lagi sopir resmi. Sekarang, kendaraan itu
disopiri Priyono B. Sumbogo. Ibaratnya, ia tak lebih
seorang “sopir tembak”, karena waktu itu tidak
mendapat mandat dari direksi (tak ada legalitas hitam
di atas putih berupa surat untuk menjalankan kendaraan
Forum Keadilan. Itu sebabnya dia bukanlah pemimpin
redaksi). Sungguh sayang, dengan pengalaman pernah di
Tempo, Gatra, atau Gamma, hanya menjadi “sopir
tembak”.

Itu sebabnya kendaraan Forum Keadilan dibawa secara
ugal-ugalan. Tabrak sana, tabrak sini. Dua kali
disemprit Dewan Pers (dalam kasus Raja Garuda Mas dan
kasus hak jawab yang tak dimuat), tapi tetap saja
“sopir tembak” itu tak peduli. Dalam pikirannya hanya
kejar setoran (bisa cetak dan menerbitkan) . Anehnya
para penumpangnya (awak Forum Keadilan) nyaman saja.
Sayang, orang seperti Asep R. Iskandar (Persatuan
Wartawan Indonesia Reformasi) atau Juli Indahrini
dibawa sopir ugal-ugalan. Kasihan……

Menyebut “Mediacare, mailinglist ala PKI” adalah salah
satu bentuk ugal-ugalan penanggungjawab majalah Forum
Keadilan itu. Bentuk lainnya, jika tidak suka pada
sesuatu (sekadar contoh tidak suka digugat secara
perdata oleh Irawan lewat Humphrey Jemat),
penanggungjawab redaksi ini menulis panjang lebar di
majalah Forum Keadilan membela diri. Sesuatu yang
tidak akan pernah—dan saya haqqul yakin, mustahil,
dilakukan Pemimpin Redaksi Majalah Tempo atau Gatra,
bahkan Gunawan Muhammad sekalipun—yang menggunakan
berlembar-lembar di medianya untuk membela diri atau
menyudutkan orang lain. Selain tidak etis, bentuk
seperti itu bisa dianggap penyalahgunaan wewenang
sebagai pemimpin redaksi. Hanya oknum sajalah yang
menyalahgunakan wewenang. Lembaga bredel sebenarnya
dimaksudkan untuk menertibkan oknum-oknum petinggi
redaksi yang ugal-ugalan dan menyalahgunakan wewenang
seperti itu. Masak kita harus menghidupkan lagi
lembaga bredel?

To be continued…….(setelah ini saya pasti akan
menerima sms aneh-aneh dari orang itu, tapi pasti akan
saya cuekin).